SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA




MARI MERANGKUM ....

     Hallo, di sini saya ingin berbagi pengetahuan. Sedikit menguraikan buku tentang "SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA" yang dibuat oleh Bapak Drs. A.S. HARIS SUMADIRIA, M. Si,.


     Tapi kalo kalian ingin lebih banyak tahu tentang bahasannya sih, mending beli bukunya deh. Hihi..
Okey, daripada banyak wacana mending mulai bahasannya yuk?!



PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KOMUNIKASI MASSA
   

Apa sih, KOMUKASI itu? Kaitannya dengan MASSA? KOMUNIKASI MASSA?

Nih penjelasannya... :)
    Komunikasi adalah suatu proses, berisi tentang penyampaian atau pertukaran ide, gagasan, atau informasi dari seseorang kepada orang lain, dan menggunakan simbol yang dipahami maknanya oleh komunikator dan komunikan. Kegiatan komunikasi melibatkan banyak komponen, yaitu : konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian(encoding), proses penerimaan (decoding), arus balik (umpan balik), dan arus.
   Menurut perspektif mekanis, komunikasi dibedakan dalam empat kategori, yakni : proses komunikasi primer, proses komunikasi sekunder, proses komunikasi linear, dalam proses komunikasi sirkular.
  • Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media kedua. Komunikator menggunakan media kedua ini karena komunikan yang dijadikan sasaran komunikasinya jatuh tempatnya atau banyak jumlahnya, atau kedua-duanya jauh dan banyak.

  • Komunikasi linear, berarti proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan secara satu arah. Sedangkan komunikasi linear, tidak berbeda dengan sebuah lingkaran, pesan dari satu titik mengalir ke titik yang lain, kemudian dari titik itu pesan kembali bergerak menuju ke titik semula dan begitu seterusnya. Komunikator dan komunikan, pada saat bersamaan berganti-ganti peran.
    Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI KOMUNIKASI MASSA 
    Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat para ilmuwan ramai-ramai mempelajari berbagai dampak sosiologis media massa. Sosiologi Lazarsfeld dari Universitas Princeton, melakukan penelitian mendalam tentang pengaruh media massa kepada pemilih dalam pemilu serta interaksi sosial dan suatu sistem sosial yang memengaruhi efek komunikasi. Akhirnya perlahan-lahan sosiologi komunikasi massa berkembang sebagai disiplin ilmu tersendiri.
     Sosiologi komunikasi massa berusaha menelaah hubungan timbal balik antara media massa dan masyarakat. Orang awam bertanya, dapatkah media massa meningkatkan taraf kejahata dan kekerasan, meruntuhkan tatanan moral, memorakporandakan budaya tradisional, atau mengantarkan masyarakat pada kondisi adil dan makmur. Ilmuwan bertanya, sejauh mana proses dan dinamika sosial dipengaruhi media massa, sejauh mana pula proses sosial memengaruhi mekanisme kerja media massa.
    Sosiologi komunikasi massa sangat tertarik untuk melakukan analisis sosiologis mengenai fenomena sisi histori, fungsi, eksistensi, dan dampak media massa sebagai lembaga sosial yang bersifat dinamis. Dalam konteks Indonesia misalnya, kita bisa memperkarakan banyaknya tayangan film dan sinetron bertema seksm kekerasan, dan dunia mistik yang diyakini tidak memberi pencerahan malah menyesatkan.

  ANALISIS FUNGSIONAL DAN DISFUNGSIONAL SERTA MODEL-MODEL KOMUNIKASI MASSA

Menurut sosiolog Robert K. Merton dan Paul Lazarsfeld,  fungsi komunikasi massa mencakup enam hal : pengawasan (surveillance), korelasi(correlation), transmisi budaya (cultural transmision),  penganugerahan status (status conferal),  dan pengakhlakan (ethicizing).  Sebagai pendukung teori fungsi,  Robert K. Merton telah membedakan antara fungsi-fungsi konsekuensi suatu aktivitas sosial dan tujuan atau maksud di belakang aktivitas tersebut. Jadi, konsekuensi-konsekuensi tidak perlu sama. Istilah konsekuensi dari Merton ditujukan untuk fungsi nyata (manifest functions) yang diinginkan,  dan fungsi-fungsi tersembunyi (latent functions) yang tidak diinginkan.
Ia juga menyatakan bahwa tidak semua konsekuensi dari suatu aktivitas mempunyai nilai positif untuk suatu sistem sosial ketika konsekuensi itu terjadi atau bagi kelompok-kelompok atau individu-individu yang terlibat di dalamnya.  Konsekuensi-konsekuensi yang tak diinginkan ditinjau dari kesejahteraan masyarakat atau anggotanya disebut dysfunctions. Setiap tindakan bisa memiliki efek-efek fungsional dan disfungsional.
Menurut Melvin DeFleur dalam karyanya yang monumental, Theories of Mass Communication (1966) terdapat empat teori untuk menjelaskan pola interaksi media komunikasi massa dengan masyarakat dan budaya. Keempat teori itu meliputi: (1) teori perbedaan individu (the individual differences theory); (2) teori penggolongan sosial (the social category theory); (3)  teori hubungan sosial (the socialrelationship);  dan (4)  teori norma-norma budaya (cultural norms theory).
Wilbur Schramm,  salah seorang pakar komunikasi terkemuka Amerika menyatakan,  peranan utama yang dapat dilakukan media massa dalam pembangunan adalah membantu memperkenalkan perubahan sosial. Menurut Schramm,  terdapat sembilan peran yang dapat dikerjakan media massa dalam membantu perubahan sosial,  yakni:  (1) media massa dapat memperluas cakrawala pemikiran; (2)  media massa dapat memusatkan perhatian; (3)  media massa mampu menumbuhkan aspirasi: (4) media massa mampu menciptakan suasana membangun; (5)  media massa mampu mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik, (6)  media massa mampu mengenalkan norma-norma sosial; (7)  media massa mampu menumbuhkan selera; (8)  media massa mampu mengubah sikap yang lemah menjadi sikap yang lebih kuat;  dan (9)  media massa dapat berperan sebagai pendidik.

TEORI SISTEM PERS DAN KEBUTUHAN MASYARAKAT

Menurut Siebert, tujuan utama pers otoritarian ialah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa, dan mengabdi kepada negara. Dalam pers otoritarian, kritik terhadap mekanisme politik dan para pejabat yang bekuasa merupakan sesuatu yang sangat terlarang. Teori ini dibangun di atas dasar asumsi filosofis tentang hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara,  hubungan manusia dengan negara, serta problema filsafat dasar, hakikat pengetahuan, dan kebenaran.
Teori libertarian muncul dari filasafat umum tentang rasionalisme dan hak-hak asasi manusia,  serta berbagai karya tulisan Milton, Locke, dan Mill.  Teori libertarian semula berkembang di Inggris dan digunakan setelah tahun 1688. Tujuan pers libertarian ialah memberi informasi, menghibur, dan transaksi bisnis,  terutama untuk membantu menemukan kebenaran serta mengawasi pemerintah yang sedang berkuasa. Teori pers tanggung jawab sosial, tumbuh di Amerika Serikat pada abad 20.
Teori pers tanggung jawab sosial berkembang setelah dipengaruhi artikel WE Hocking, para pelaksana media, kode etik media, dan Komisi Pembebasan Pers. Teori pers tanggung jawab sosial bertujuan untuk memberi informasi, menghibur, melakukan transaksi bisnis, dan yang utama adalah untuk mengangkat konflik sampai tingkat diskusi melalui pasar ide yang bebas dan bertanggung jawab. Media tanggung jawab sosial diawasi oleh komisi-komisi yang dibentuk oleh masyarakat serta oleh berbagai etika yang dibuat oleh kaum profesional dibolehkan mendirikan penerbitan pers.
Teori belajar sosial dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini berasumsi, media massa merupakan agen sosalisasi yang utama selain keluarga, guru, sahabat karib, dan sekolah.  Artinya,  dengan fungsi dengan kemampuannya menyeleksi berita dan informasi, ulasan dan tulisan, serta menyajikan dan memublikasikannya secara cepat, luas, dan serempak kepada masyarakat yang heterogen dan anonim, media massa dapat berperan sebagai guru yang baik dan profesional. Media tak berbeda dengan ibu dan bapak guru di ruang kelas yang mengajarkan membaca menulis dan berhitung,  transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta nilai-nilai etika dan moralitas kepada para anak didiknya.
Teori agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu.  Singkatnya apa yang dianggap ng penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat.  Apa yang dilupakan media,  akan luput juga dari perhatian masyarakat.
SOSIOLOGI KOMUNIKATOR DAN PESAN DALAM KOMUNIKASI MASSA
Salah satu pendekatan studi sosiologis tentang komunikasi massa adalah memecahkan konsep umum tentang komunikator ke dalam berbagai unsur pekerjaan yang sudah terspesialisasi.  Selanjutnya, aspek-aspek yang relevan secara sosiologis dari setiap pekerjaan itu dapat diteliti.  Penelitian Warren Breed dan Lee Sigelman, sedikit-banyak bisa memberikan gambaran kepada kita bagaimana aspek-aspek sosiologis pada komunikator komunikasi massa bisa memengaruhi dan menentukan bentuk serta kualitas isi pesan. Studinya memperlihatkan bagaimana para wartawan,  apakah berada di bawah perintah langsung atau tidak, dipengaruhi oleh kebijakan surat kabarnya dan oleh norma-norma mengenai isi berita yang kadang-kadang eksplisit, sering sekali implisit, dan disampaikan melalui rekan reporter dan pengawas di ruang berita.
Aristoteles menyebutkan terdapat tiga syarat penting yang harus dipenuhi oleh komunikator dalam memengaruhi khalayak : ethos, pathos, logos. Melalui tiga pendekatan ini, Aristoteles sebenarnya ingin mengingatkan tentang betapa pentingnya aspek atau kajian-kajian sosiologi dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas komunikasi individual dan sosial, termasuk komunikasi massa. 
Pakar komunikasi terkemuka Wilbur Schramm, menyebutkan terdapat empat kondisi sukses dalam komunikasi(the condition of success in communication)  yang perlu diperhatikan oleh siapa pun yang hendak berkomunikasi dengan baik,  yaitu: (1)  pesan dirancang secara menarik, (2)  pesan menggunakan simbol yang sama; (3) pesan membangkitkan kebutuhan khalayak, dan (4) pesan memberikan jalan keluar atau alternatif tindakan.

SOSIOLOGI KHALAYAK DALAM KOMUNIKASI MASSA

Richard T. La Piere dalam Theory Social Control, berpendapat bahwa lingkungan inti seperti rumah,  keluarga,  gereja,  dan jaringan persahabatan,  lebih memengaruhi nilai-nilai,  sikap dan perilaku individu daripada media massa. Orang-orang berpaling ke media untuk memperoleh apa yang mereka cari,   bukan dalam kerangka menyediakan diri untuk dipengaruhi.
Khalayak berbagai media, mulai dari surat kabar sampai dengan film, memiliki ciri-ciri spesifik, meskipun dalam sejumlah hal juga menunjukkan kesamaan tertentu. Pemirsa televisi misalnya, biasanya jarang menggemari buku. Sedangkan pembaca setia surat kabar biasanya bukan merupakan penggemar film. Bahkan terhadap satu jenis media, ketertarikan khalayak berbeda-beda, bergantung kepada profesi, minat, dan selera mereka. Dari berbagai penelitian terungkap, terdapat empat prinsip umum perilaku khalayak komunikasi massa.
Revers, Jensen, dan Peterson, dalam Mass Media and Modern Society mengajukan pertanyaan menarik atas dasar apakah orang-orang memilih media? Wilbur Schramm dari Universitas Stanford menawarkan jawaban sementara atas pertanyaan itu. Ia mengajukan dua prinsip yang menjadi dasar pemilihan, yakni prinsip kemudahan, dan pinsip harapan-imbalan memperoleh sesuatu.
Rivers dan kawan-kawan menyimpulkan, tiap orang menggunakan media secara berbeda. Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, memengaruhi alasan seseorang menggunakan media. Selain itu masih banyak faktor lain yang tidak terlalu tampak seperti sikap individual aspirasi, harapan, ketakutan. Semua faktor itu memengaruhi penggunaan media oleh seseorang,  tetapi juga memengaruhi apa yang akan ditemukannya dari media.

EFEK SOSIOLOGI DALAM KOMUNIKASI MASSA

Teori uses and gratifications (penggunaan dan pemenuhan) digambarkan sebagai sebagai a dramatic break with effects tradition of the past, atau suatu loncatan dramatis dari model jarum hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan media pada diri orang, tetapi ia tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam asumsi ini tersirat pengertian bahwa media komunikasi massa berguna (utility); konsumsi media diarahkan oleh motif (itentionality); perilaku media mencerminkan kepengtingan dan preferensi (selectivity); dan khalayak sebenarnya berkepala batu (stuborn).
Steven H. Chaffee, menyebutkan terdapat lima efek kehadiran media massa secara fisik : efek ekonomis, efek sosial, efek penjadwalan kembali, efek pada penyaluran atau penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang terhadap media. Sedangkan Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton dalam Mass Communication: Popular Taste and Social Action (1948) telah merumuskan terdapat empat sumber keprihatinan masyarakat terhadap media massa: ubiquity, status quo, kemerosotan cita rasa estetis, dan penghilangan sukses sosial.
Secara sosiologis media massa memiliki tiga efek prososial : efek prososial kognitif, efek prososial afektif, dan efek prososial behavioral. Pada tahun 1960, Joseph Klapper melaporkan hasil penelitian komprehensif tentang efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum.
Denis McQuail, melihat efek atau dampak komunikasi massa dalam beberapa kategori dan jenis. Ia mengatakan ada efek komunikasi massa yang diinginkan, ada pula efek komunikasi massa yang tidak diinginkan. Selain itu, ada efek dalam rentang atau lingkup jangka pendek, ada pula efek dalam rentang jangka panjang. Pada efek jangka pendek, terdapat faktor yang disengaja dan faktor tidak disengaja. Begitu pula dalam efek jangka panjang, ada yang termasuk disengaja; ada juga yang termasuk tidak disengaja.
Teori spiral kebisuan dari Neolle-Neumann bertitik tolak dari asumsi dasar bahwa orang-orang umumnya secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dalam pengungkapan opini, mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas atau 'konsensus'. Sedangkan teori pengendalian sosial berpendapat bahwa umumnya tindakan media mendukung nilai-nilai dominan dalam mayarakat atau bangsa, melalui gabungan pilihan pribadi dan lembaga, tekanan dari luar, dan antisipasi tentang apa yang diharapkan dan diinginkan khalayak yang besar dan heterogen.

DIMENSI SOSIOLOGIS FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA

Kontrol sosial (social control) merupakan salah satu fungsi pers yang sangat penting, terutama di negara yang menerapkan sistem pemerintahan yang demokratis. Kekuatan utama media massa sebagai alat kontrol sosial terletak pada fungsinya sebagai pengawasan lingkungan. Pelaksanan fungsi kontrol sosial oleh pers sebagian besar ditujukan kepada pemerintah dan aparatnya : yakni apakah pemerintah dan aparatnya melaksanakan kebijakan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, fungsi ini selalu membela kepentingan masyarakat.
Media massa adalah salah satu lembaga sosial. Kedudukannya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial yang lain. Tidak pula lebih rendah. Setiap media massa mempunyai fungsi kontrol sosial. Hanya saja dalam pelaksanaan intensitasnya berbeda-beda. Perbedaan ini banyak bergantung kepada sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat media massa itu beroperasi. Surat kabar yang melaksanakan fungsi ini, misalnya, selalu bertindak sebagai pembela publik atau selalu menjadi the watch dog of the public interest.
Kontrol sosial secara represif berarti media massa memberikan sanksi-sanksi terhadap anggota masyarakat yang diyakini melanggar nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya agama yang berlaku. Terdapat dua masalah pokok yang erat kaitannya dalam masalah kontrol sosial : konformitas dan deviasi. Konformitas adalah penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan mengikuti norma-norma yang berlaku. Jika perilaku seseorang itu bertentangan dengan norma yang berlaku, ia akan dicela oleh anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya deviasi adalah penyimpangan dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Perilaku menyimpang ini dapat terjadi apabila tidak ada keselarasan antara nilai-nilai sosial dengan norma-norma yang berlaku.
Untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan insentif-insentif positif. Insentif adalah dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah atau menyimpang. Seperti juga sanksi, insentif pun bisa dibedakan menjadi tiga jenis : insentif yang bersifat fisik, insentif yang bersifat psikologik, dan insentif yang besifat ekonomik.
Dengan merujuk kepada teori kontrol, teori pertukaran sosial, dan teori pilihan rasional, sedikit-banyak kita bisa memetakan berbagai persoalan yang bersinggungan dengan media, terutama media massa televisi. Dalam analisis sosiologi komunikasi massa, konflik paling tidak dapat dilihat dari dua perspektif: redaksional dan komersial. Perspektif redaksional, media memiliki tanggung jawab sosial serta etika profesional untuk mengecilkan dan bahkan memadamkan konflik, bukan malah membakar atau membesarkan konflik. Perspektif komersial, menegaskan komitmen sekaligus orientasi media massa dalam mencari keuntungan.

TEKNOLOGI INFORMASI, CYBERSPACE, DAN HIPER-REALITAS MEDIA

Teknologi infomasi adalah segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses dan mengirimkan informasi dalam bentuk elektronis. Mikrokomputer, komputer mainframe, pembaca barcode, perangkat lunak pemroses transaksi, perangkat lunak lembar kerja (spreadsheet), serta peralatan komunikasi dan jaringan, merupakan contoh teknologi infomasi. Secara garis besar, teknologi informasi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software).
Lahirnya era komunikasi interaktif ditandai dengan terjadinya diversifikasi teknologi informasi, yaitu bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi menjadi satu dan menandai teknologi yang disebut dengan internet. Sekarang ini yang terpenting dan paling luas pengaruhnya adalah internet. Internetlah yang menghubungkan komputer pribadi yang paling sederhana hingga komputer super canggih. Inilah struktur jaringan komputer yang saling berhubungan satu sama lain.
Dalam internet kita menemukan cyberspace (dunia maya) dan cyber community (masyarakat maya). Pada awalnya masyarakat maya adalah sebuah fantasi manusia tentang dunia lain yang lebih maju dibandingkan dengan dunia saat ini. Fantasi tersebut adalah sebuah hiper-realitas manusia tentang nilai, citra, dan makna kehidupan manusia sebagai lambang dari pembebasan terhadap kekuasaan materi dan alam semesta. Namun ketika teknologi manusia mampu mengungkapkan misteri pengetahuan itu, manusia mampu menciptakan ruang kehidupan baru baginya dalam dunia hiper-realitas itu.
Masyarakat maya menggunakan seluruh metode kehidupan masyarakat nyata sebagai model yang dikembangkan dalam segi-segi kehidupan masyarakat maya. Hiper-realitas media menciptakan satu kondisi sedemikian canggih sehingga di dalamnya kesemuanya dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya dibandingkan dengan informasi; rumor dianggap lebih benar dibandingkan dengan kebenaran. Hiper-realitas media tidak terlepas dari perkembangan teknologi media, yang disebut teknologi simulasi (simulation technology).
Hiper-realitas media telah menimbulkan enam bentuk dampak sosiokultural : disinformasi, depolitisasi, banalisasi infomasi, fatalitas informasi, skizofrenia, dan hipermoralitas. Untuk mencegah berkembangnya hiper-realitas media ke arah yang ekstrem, perlu dilakukan enam langkah antisipasi : dehiper-realitas media, civic education, counter media, pemantauan media (media watch), literasi media (media literacy), dan intensifikasi komunikasi keluarga.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar